Minggu, 04 Mei 2014

TUGAS RESENSI FILM TOKOH SOE HOK GIE “GIE”

SOE HOK GIE

Gie, semangat pembaharu sejati

Film Gie yang mengambil setting antara tahun 1956-1969 ini menceritakan tentang kisah hidup Soe Hok Gie, pemuda Indonesia keturunan Cina yang aktif menetang kesewang-wenangan penguasa melalui tulisan-tulisannya. Sejak kecil, Gie memiliki kepekaan sosial dan budaya yang melampui teman sebayanya. Ketertarikannya pada sastra dan bacaan membuatnya secara alamiah untuk terus menulis, mencatat apa yang terjadi di sekelilingnya dan Gie melihat segala yang terjadi secara kritis dan berpihak kepada rakyat-rakyat yang tertindas.
Saat duduk di bangku SMA, Gie bahkan berani mengatakan bahwa demokrasi terpimpin bukanlah demokrasi. Hal ini tentu sangat ‘berani’ dalam kondisi yang serba tidak menentu pada saat itu. Keberanian Gie tersebut makin menjadi setelah dia menjadi mahasiswa fakultas sastra UI. Di sana pikirannya semakin terasah dan di sana pulalah Gie menemukan sahabat-sahabat yang memiliki minat yang sama sepertinya, gunung dan film.

Pada saat itu semangat revolusi yang didengung-dengungkan justru membuat situasi memanas. Dalam lingkup UI saja, bermunculan organisasi-organisasi yang terbentuk karena kepentingan agama dan golongan, seperti PMKRI dan HMI. Gie yang seorang katholik, diajak bergabung ke PMKRI oleh temannya, Jaka. Namun, gie menolak. Dia merasa bahwa politik yang membawa kepentingan agama dan golongan bukanlah jalan untuk membawa perubahan hidup bangsa Indonesia.

Alih-alih terlibat organisasi, Gie lebih memilih untukdiskusi dan menulis dalam melawan kelaliman penguasa. Kekritisan GIe dalam mengkritik pemerintah, disadari oleh seorang aktivis gerakan yang bernama Ben. Gerakan yang diikuti Ben tersebut dipimpin oleh Sumitro yang memiliki ide-ide yang sama dengan Gie. Ben pun mengajak Gie untuk bergabung dalam gerakan ini dan menulis utnuk pamflet gerakan tersebut yang disebarkan secara underground.

Salah satu usaha Gie yang lain adalah ikut dalam senat. Latar belakang keaktifan Gie semula ketika dia melihat para calon ketua senat yang berasal dari oraganisasi-oraganisasi yang membawa kepentingan golongan dan agama. Gie tidak ingin senat dikuasai oleh orang semacam itu. Gie lalu mengajukan Herman, sahabatnya, sebagai calon ketua. Gie melihat bahwa Herman tidak membawa kepentingan agama dan golongan manapun dan inilah yang akan menjadi kelebihannya.

Pada 30 September 1965, terjadilah penculikan para jendral Angkatan Darat. Sejak saat itu ketegangan semakin meningkat. Hingga akhirnya harga-harga melambung tinggi. Dalam pandangan GIe, ini sesungguhnya adalah taktik pemerintah untuk mengalihkan perhatian rakyat dari penumpasan komunis.

Mahasiswa UI saat itu bersatu, mereka berusaha meminta hak-hak rakyat dengan cara berdemo secara besara-besaran. Mahasiswa ini mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah yang dikenal sebai tritura. Tuntutan mahasiswa ini hingga Februari 1966 belum terpenuhi, bahkaan Presiden sendiri menegaskan bahwa tidak akan membubarkan PKI.

Mahasiswa berdemo lagi. Keadaan di masyarakat semakin kacau. Baru pada tanggal 11 MAret 1966, Supersemar seolah menjadi jawaban atas keadaan saat itu. Soekarno menyerahakan mandatnya kepada panglima angkatan darat Soeharto. Saat itulah sesungguhnya militer yang sebelumnya bersitegang dengan PKI mendapat kekuasaan.

Para anggota PKI pun diburu, ditangkap, disiksa dan dibantai. Gie yang bukan ‘kiri’ atau ‘kanan’ tersentil rasa sosialnya untuk menulis kesewenang-wenangan dan kebiadaban orde baru.

Jalan film ini selanjutnya memaparkan keberanian untuk terus mengkritik hingga sampai pada satu titik Gie merasa ‘lelah’ dan terus mendapat reaksi keras dari orang-orang yang merasa terusik atas ulah Gie. Film ini pun diakhiri dengan ending yang abu-abu. Tidak bahagia, tidak juga sedih. Tidak bahagia sebab tentu karena Gie mati muda pada bulan Desember 1969. Tidak sedih sebab pada dasarnya Gie merasa beruntung. Sebelumnya Gie pernah mengatakan bahwa nasib baik adalah tidak dilahirkan dan mati muda. Gie meninggal dalam usia 27 tahun di Gunung Semeru dalam pangkuan sahabatnya, Herman Latang.

Rekam sejarah

Gie adalah tokoh yang sangat kritis menilai politik dan keadaan sosial masyarakat. Film Gie ini sendiri menjadi film yang memutar ulang sejarah dengan sudut yang berbeda dari buku-buku teks yang selama ini kita baca, terutama buku teks pelajaran.

Bagaimana sesungguhnya pergolakan politik yang terjadi disampaikan melalui pemikiran-pemikiran Gie, siaran radio, berita dan lainnya. Sutradara dan penulis naskah Gie berhasil membawa dimensi pikiran Gie kepada para penontonnya tanpa terkesan menggurui, meskipun sedikit berat. Narasi-narasi Gie maupun dialognya memang bukan dialog ringan melainkan dialaog yang sarat makna.

Cara Gie memaknai revolusi, kebenciannya kepada para penguasa yang memasung demokrasi, kepekaannya dan rasa sosialnya yang tinggi, kegeramannya terhadap orde lama yang korup dan berkuasa secara absolute juga orde baru yang bertindak sewenang-wenang, sedikit banyak akan berpengaruh kepada para penonton yang masih mau berpikir dan peduli terhadap bangsa. Pandangan kita mengenai sejarah yang semula hanya benar di satu sisi dan salah besar di sisi lain ( sesuai penjelasan teks-teks buku pelajaran kuno) menjadi terbagi adil disini. Dalam sejarah, tak pernah ada pihak yang sepenuhnya salah tak ada yang sepenuhnya benar. Oleh karena itu, pembantaian manusia tidak pernah bernilai benar.

Gie sebagai manusia

Film yang menarik tentu memiliki kisah cinta di dalamnya, begitu juga film ini. Meskipun tidka menonjol, kisah cinta Gie cukup menarik untuk diamati. Cinta segitiga antara Gie, Ira dan Ita. Gie dan Ira yang saling menyukai namun sama-sama canggung dan Ita gadis yang akhirnya menjadi pacar Gie. Cerita cinta mereka agak pilu, sebab ketiganya tidak mendapatkan cinta mereka masing-masing.
Sisi kemanusian Gie yang lain adalah kesalahan. Gie remaja tidak begitu akrab dengan kakaknya, Arif Budiman. Selain itu, Gie juga tidak begitu peduli dengan keluarganya meski sesungguhnya Gie menyayangi mereka. Gie juga mudah marah, tampak dalam beberapa adegan. Meski terlihat santai, gerak tubuhnya jelas menandakan dia larut terbawa emosi.

Gie

Sebagai sebuah film, Gie berhasil menjadi film mengagumkan dalam segi artistic dan moral. Film ini meyuguhkan gambar-gambar kota Jakarta yang masih ‘segar’ dan pemandangan gunung. Dari segi tata music, film ini sangat hidup dengan lagu-lagu yang sangat mendukung. Seperti back song saat Gie berdemo mampu membawa atmosfer dan semangat pemuda ke dalam benak dan membuat merinding. Juga lagu-lagu dan music yang tergolong ‘cerdas’.

Film ini juga sarat pesan. Kita bisa mengambil pesan dari buah pikiran Gie sepanjang film ini, jika sikap dan keteguhan hatinya. Film ini memang tergolong film yang berhasil bercerita kepada para penontonnya dan sangat layak untuk ditonton juag mungkin menjadi salah satu film Indonesia yang sangat membanggakan dan akan terus dikenang.

Resensi Novel : Berteman Dengan Kematian



RESENSI NOVEL BERTEMAN DENGAN KEMATIAN


Judul buku                  : Berteman dengan kematian (Catatan gadis Lupus)
Pengarang                  : Sinta Ridwan
Penerbit                     : Ombak
Terbit                        : Mei 2010 (Cetakan I)
                                   Juli 2012 (Cetakan IV)
Tempat Penerbitan     : Yogyakarta
Jumlah Halaman         : xvi + 363 halaman
Ukuran Buku             : 13 x 19 cm
Harga Buku               : Rp 60.000,-

Novel ini menceritakan tentang seseorang gadis penderita penyakit Lupus yang bernama Sinta. Tak pernah ia duga sebelumnya jika lupus mengunjungi tubuhnya! Tak kalah dengan HIV/AIDS, penyakit ini belum ada obatnya. Lupus membuat tubuhnya melemah dari hari ke hari. Dia berjuang memaknai hari-hari menjelang kematiannya. Saat mengetahui dirinya mengidap penyakit Lupus, yang terbayang adalah kematian yang terus tersenyum dan seakan melambaikan tangan di depan. Baginya kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan, tetapi serupa teman akrab yang diajaknya berbincang dan berteman sehari-hari.
Senyum kematian di depan justru membuat setiap detik dan menit menjadi sangat berharga. Membuatnya terpukau pada indahnya keabadian dalam hidup disini dan saat ini. Sinta yang berasal dari keluarga broken home dan membiayai hidup dan kuliahnya sendiri selepas SMU mampu memberikan makna lebih pada hidupnya.  Dia selalu memberikan senyum dan semangat pada orang-orang disekitarnya, terutama kepada penderita penyakit seperti dirinya: “bahwa hidup harus disyukuri, bahwa hidup harus dihidupi”. Sebab pada akhirnya, menghidupi hidup adalah obat sesungguhnya dari setiap mahluk di dunia.

Hingga pada usianya yang ke-25 tahun dia masih dapat berkarya dan memberikan senyuman indahnya pada setiap orang di sekitarnya. " Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi", satu kata yang patut ditiru dari gadis 25 tahun ini, "semangat". Ya, diantara hari-harinya yang dibayangi penyakit lupus, Sinta Ridwan tak pernah patah semangat untuk membuat banyak karya. Menulis puisi, dan novel menjadi salah satu bagian hidupnya. Kajian naskah kuno pun jadi pilihannya untuk dieksplorasi.

Suatu hari, dalam perjalanan dari Bali menuju Bandung, usai mengikuti sebuah kegiatan kampus, Sinta sedang bergelut dengan lupus. Teman-temannya memperhatikan Sinta dengan penuh iba. Sinta pun mengaku, sebagaimana ia tulis dalam bukunya di halaman 201-202. "Kulihat beberapa teman-temanku masih berdiri di sampingku, memperhatikanku. Bahkan ada yang menggosipkan aku terkena penyakit yang parah semacam kanker dan kambuh gara-gara bertengkar dengan teman sekamarku kemarin. Hahaha, ada-ada saja. Aku tidak mau mendengarkan mereka berbisik-bisik tidak jelas. Bahkan aku melihat ada teman dekatku yang menangis. Tak usah menangis, tenanglah, bisikku. Aku tidak akan meninggal kok, terima kasih ya teman. Aku pun terlelap dalam bus sepanjang perjalanan ke Bandung, tertidur sambil tersenyum kesakitan."

Sinta, meskipun menderita sakit, justru menasihati teman-temannya yang sehat agar tidak menangis. Sinta, meskipun bergelut dengan lupus dan merasa kesakitan, justru bisa tersenyum.

Pelajaran menarik lain dari seorang Sinta, yakni ketika Sinta mengikuti seminar tentang penyakit lupus. Dokter mengatakan, bahwa para penderita penyakit lupus, tidak bisa lepas dari obat-obatan kimiawi. Tapi Sinta menolak anjuran itu. Sinta kemudian menggambar sketsa tubuh manusia yang diberi nama AKU. Tangan manusia itu menggenggam tali-tali yang mengikat banyak balon yang sedang mengudara. Di setiap balon, Sinta memberi warna yang berbeda disertai tulisan.

Yang menarik, di balon berwarna merah, Sinta menulis "hidup tanpa obat kimia". Di balon berwarna ungu, Sinta menulis, "harus bahagia tiap hari". Di balon warna hitam, Sinta menulis dengan kalimat, "semoga bahagia lahir batin ya Ta." Dan di balon warna putih, ia menulis "Hidup harus hidup" (halaman 256-257). Apa yang ditulis Sinta memiliki makna sama dengan doa. Paling tidak itulah harapan Sinta yang dipanjatkan kepada Sang Pencipta.

Dan benar kata Bung Chairil Anwar, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Demikian Sinta Ridwan menulis di halaman terakhir bukunya, Berteman dengan Kematian Catatan Gadis Lupus (Ombak2010). Sebuah penutup yang terasa berbeda dengan judul buku tersebut. Namun, tampaknya gadis cantik kelahiran Cirebon, 11 Januari 1985 ini, merasa perlu menutup bukunya dengan cara seperti itu untuk melukiskan semangat hidupnya. Meski tahu, sebagai orang pengidap lupus (odapus), ia setiap hari harus berteman dengan ancaman kematian melalui penyakit yang terus mengancam berbagai organ tubuhnya.

Buku ini diluncurkan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung, Minggu 9 Mei 2010, bertepatan dengan peringatan Hari Lupus Sedunia. Lewat buku yang ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dengan gaya catatan harian, Sinta tak hanya menuturkan ihwal penyakit lupus dan bagaimana mulanya ia divonis menjadi seorang odapus. Akan tetapi, nyaris mengisahkan seluruh dirinya, dari masa kecil, perceraian kedua orang tuanya, kematian orang-orang yang disayanginya, perjuangannya bekerja keras di Bandung, gaya hidup, hingga perubahan besar pada dirinya dalam memandang hidup ketika lupus bersarang dalam tubuhnya.

Dan satu hal yang amat terasa dalam buku ini adalah semangat hidup. Semangat seorang gadis yang sejak remaja ditempa oleh berbagai pengalaman pahit. Tak cukup hanya penderitaan psikologis akibat keluarganya yang berantakan, penderitaan fisik akibat lupus pun harus diterimanya. Dan itu terjadi ketika ia sedang tumbuh sebagai seorang mahasiswi yang penuh dengan cita-cita. Namun, lupus tidaklah menyurutkan semangat hidup dan cita-citanya. Meski penyakit yang belum ada obatnya ini telah menyerang tubuhnya, setamat menyelesaikan pendidikan di sebuah sekolah tinggi bahasa, sambil bekerja, Sinta meneruskan pendidikannya ke Pascasarjana Jurusan Filologi di UNPAD. Kini, sambil menyelesaikan tesisnya, ia masih terus menulis puisi. "Secangkir Bintang" merupakan kumpulan puisinya yang pertama.

Semangat ini pula yang terasa dalam gaya penulisan bukunya. Seluruh penderitaan sampai yang paling mendebarkan sekalipun, ditulis dengan gaya khas anak muda. Polos, santai, penuh celetukan konyol, dan jauh dari tujuan mendramatisasi nasib demi mendapat empati, apalagi untuk minta dikasihani. Justru dengan cara seperti inilah kesedihan itu amat terasa. Kebersahajaan dan kepolosan seorang gadis menuturkan penyakit yang mengancam jiwanya, tanpa sedikit pun mengeluh.

Bersahaja dan polos, begitulah Sinta Ridwan dalam kesehariannya. Berpakaian santai, selalu berbicara diiringi senyum, kadang terkesan manja dan agak cerewet. Namun, sesekali ia bisa bicara penuh semangat, terutama tentang nasib naskah-naskah kuno yang tak terawat dan banyakdi perjualbelikan ke negara asing. Atau tentang aksara Sunda, perjalanannya meneliti naskah kuno ke berbagai kota di Kalimantan, cita-citanya meneruskan studi ke Leiden Belanda, atau mendirikan perpustakaan naskah-naskah Nusantara. Termasuk ceritanya tentang Naskah Wangsakerta.

"Saya ingin menulis novel tentang Wangsakerta," ujar gadis manis ini bersemangat. Wangsakerta merupakan seorang pangeran Cirebon yang merupakan tokoh penting dalam proses penulisan sejarah Nusantara tahun 1698. Memang aneh, di tengah kegandrungan anak-anak muda memilih studi bidang keilmuan yang mudah mendapatkan lapangan kerja, gadis yang pernah menjadi pemain softball dan vokalis group band di Cirebon ini, memilih bidang studi filologi yang selalu mengurusi naskah kuno. Alasan ia memilih kajian sastra kuno atau filologi tak bisa dilepaskan dari kesukaannya pada sastra. Di bidang yang satu ini, gadis yang sebelumnya perokok dan suka begadang ini telah menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul "Secangkir Bintang".

Dengan mengesplorasinaskah naskah kuno, gadis ini juga berharap bahwa suatu hari ia bisa menjadi pengajar atau peneliti yang bisa berkeliling dunia. Karena itulah, puisi dan nasib naskah-naskah kuno, merupakan topik obrolan yang paling disukainya. Bahkan, jika ia sedang bercerita tentang naskah-naskah kuno tampak bahwa pembicaraan itu lebih menarik baginya ketimbang membicarakan penyakit lupus yang ada dalam tubuhnya. Sinta menuturkan bahwa ia kerap merasa kurang nyaman berada di tengah berbagai kegiatan perkumpulan pengidap penyakit yang dilembagakan.

Namun ia merasa terpanggil jika ada orang yang mengajaknya membicarakan kasus penyakit lupus.Tapi ia harus mempersiapkan mental agar ia tidak terpancing ke dalam suasana yang menyedihkan, sehingga membuat ia sendiri jadi gelisah dan cemas. Sinta harus menerima semuanya dengan lapang dada. Dulu ketika ia divonis mengidap lupus, ia sangat marah dan kecewa sekali.

Tapi sekarang ia jadikan teman," katanya. Sejak ia divonis mengidap lupus tahun 2006, Sinta giat mencari tahu tentang penyakit tersebut. Dari mulai pengalamannya sendiri, konsultasi dengan para dokter yang merawatnya, hingga mencari berbagai buku dan referensi di internet. Karena penyakit mengerikan ini dalam dunia medis belum ada obatnya, maka bagi Sinta obat itu harus ada dalam diri seorang odapus. Dan itu adalah semangat hidup dan merasa berbahagia. "Saya ingin sekali merasakan obat itu, karena saya ingin sembuh. Dan obat itu adalah kebahagiaan," ujarnya dengan semangat.

Akan tetapi bagaimanakah memunculkan bahagia sedangkan lupus terus menyerang organ tubuh dengan ancaman kematian? Tentu saja tak mudah, terlebih lagi kebahagian itu sangat relatif. Demikian pula bagi Sinta. Namun baginya, sebagai odapus kebahagian itu adalah dengan memaknai hidup dan menghargainya.

Tentu manusiawi sekali jika ia pun merasa takut pada kematian. Akan tetapi, Sinta memandang ketakutan pada kematian itu sebagai teman. Dan itulah yang membuatnya bisa memandang ke arah sebaliknya, ke arah bagaimana menghargai dan memaknai hidup dengan sebuah semangat. "Saya masih ingin hidup. Hidup harus hidup. Tapi jika memang kematian itu akhirnya datang, yang saya takutkan hanyalah saya mati sendirian tanpa ada siapa pun," ujar gadis yang hingga sekarang keluarganya belum tahu bahwa ia mengidap lupus.

Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari buku ini. Itu lantaran Sinta menulis dengan jujur, penuh perasaan dan tentu saja dengan semangat hidup yang tinggi. Pelajaran yang paling berharga disodorkannya yaitu bahwa manusia, siapapun dia tidak akan luput dari kematian. Hal itu memang sudah diingatkan oleh kitab suci, bahwa Sang Maut selalu mengikuti serta mengintai semua makhluk setiap saat. Dan Sinta mengingatkan, atau menegaskan kembali, bahwa hal itu benar-benar terjadi sehingga perlu diisi dengan perbuatan yang bermakna. Dengan itu, kita harus sadar bahwa tidak  ada yang kekal di dunia. Dan disisa  hidup kita buatlah menjadi bermanfaat dan lebih berarti bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bagi orang lain, terutama disekitar kita. Buatlah mereka bahagia dan tersenyum, yakinlah kebahagiaan yang mereka rasakan itulah kebahagiaan kita .